Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah.
Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sebagai seorang muslim tentu kita meyakini bahwa kebahagiaan adalah suatu cita-cita mulia yang harus digapai dengan meniti jalan-jalannya. Lebih daripada itu, kebahagiaan hanya akan tercapai dengan taufik dan pertolongan Allah, bukan semata-mata hasil jerih payah dan kerja keras hamba.
Inilah yang setiap hari kita ikrarkan di dalam sholat kita dengan kalimat ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ yang artinya “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Ibadah kepada Allah dan isti’anah/memohon bantuan kepada-Nya merupakan jalan yang akan mengantarkan seorang hamba menuju Allah dan surga-Nya.
Oleh sebab itu, Allah ciptakan kita, Allah ciptakan jin dan manusia semuanya demi mewujudkan sebuah tujuan agung di alam semesta. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Ibadah kepada Allah dengan ikhlas dan mengikuti ajaran dan bimbingan-Nya inilah yang akan mengangkat derajat dan kemuliaan hamba di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2)
Ibadah kepada Allah merupakan sebuah ketundukan dan perendahan diri yang dilandasi dengan puncak kecintaan dan sikap pengagungan serta dibarengi dengan rasa harap dan takut kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan kepada Allah. Adapun orang-orang beriman amat dalam cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu)
Ibadah kepada Allah hanya akan menjadi benar, lurus, dan diterima di sisi-Nya jika dilakukan sesuai syari’at dan murni untuk mengharap keridhaan Allah dan pahala dari-Nya, bukan demi mengejar kedudukan di mata manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Ibadah kepada Allah namun tercampuri dengan kotoran syirik dan kekafiran hanyalah akan berbuah dengan penyesalan demi penyesalan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami teliti amal-amal yang dahulu telah mereka kerjakan -di dunia- lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan/sia-sia.” (QS. Al-Furqan : 23)
Ibadah kepada Allah ini hanya akan terwujud apabila dilandasi dengan ilmu dan pemahaman. Sebab beribadah tanpa ilmu akan menjerumuskan manusia dalam kesesatan dan penyimpangan. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha)
Dari sinilah pentingnya seorang muslim untuk senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar melimpahkan kepada dirinya ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Sebab dengan ilmu yang bermanfaat inilah dirinya akan terbebas dari kesesatan, sedangkan dengan amal salih akan menyelamatkan dirinya dari kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr : 1-3)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha : 123)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia justru mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam; dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’ : 115)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lainnya dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)
Dengan demikian, kebahagiaan yang didambakan oleh setiap insan itu hanya akan bisa diraih dengan keimanan yang benar, akidah yang lurus, dan hidayah dari-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang diberikan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’aam : 82)
Mereka itulah yang akan merasakan kebahagiaan sejati tatkala berjumpa dengan Allah di akhirat, sebagaimana yang Allah singgung dalam firman-Nya (yang artinya), “Pada hari itu tiada bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 88-89)
Hati yang selamat itu adalah hati yang mengenal Allah dan tunduk kepada-Nya, hati yang ikhlas dan bertaubat kepada-Nya, hati yang bersih dari virus syubhat dan syahwat, hati yang dipenuhi dengan kejujuran dan ketulusan, hati yang bergantung kepada Allah semata, hati yang mengabdi kepada Allah dan berpaling dari segala sesembahan selain-Nya. Inilah hati yang akan memetik kebahagiaan; kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah keluar meninggalkan dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya, “Apakah hal itu wahai Abu Yahya?” Beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.”